Selasa, 28 Januari 2014

Foto Keluarga Jadul

Oleh: Sinang Bulawan

Foto Keluarga jaman dulu, yang diambil sekitar tahun 1967.
Ketika itu kami masih tinggal di Kompleks Perumahan Pertamina Plaju.

Dari 12 adik dan kakak, yang tidak ikut berfoto hanya kakak tertua.

Saat itu Ibu dan Bapak serta Nenek masih hidup

Dari 12 kakak beradik, yang sekarang tinggal hanya 10 orang saja.

Kakak tertua dan adik bungsu sudah meninggal dunia.
Kakak tertua meninggalkan 5 anak dan 10 cucu, sedang adik bungsu meninggalkan seorang anak yang sudah berumur 18 tahun.

Kami sekarang sudah berkeluarga, dan sebagian besar sudah berumur di atas 50 tahun, masing-masing sudah beranak dan bahkan ada yang sudah bercucu.

Dalam foto, saya yang jongkok di depan dan sedang menoleh ke belakang.



Setelah hampir 50 tahun, foto hitam putih tadi sekarang seperti barang keramat.

Namun, jaman sudah berubah.

Kalau dulu ibu dan bapak meninggalkan foto hitam putih, maka saya sudah ganti meninggalkan foto keluarga bewarna bagi anak-anak saya nanti.


Foto Keluarga Sinang Bulawan Tahun 2000 dan 2010
Sekarang belum. Tapi nanti 50 tahun lagi foto-foto ini juga akan menjadi barang keramat.




















  

Sabtu, 25 Januari 2014

Golden Gate Bridge

Oleh: Sinang Bulawan














Opened in 1937, the 4,200 foot suspension bridge was the longest in the world until 1959.
The bridge is designed to sway 27 feet from east to west in a high wind or earthquake.
It took four-and- a half years and $ 35 million to build in 1991. According to one estimate, it would cost $ 1.25 billion to reconstruct.

The 746-foot towers of Golden Gate Bridge were the world's tallest until 1997, when they were exceeded by a bridge in Denmark.

The clearance between the roadbed and the water is 260 feet, a distance set by the military to allow ships to pass underneath.

Untuk Ibu Ku

Oleh: Sinang Bulawan


Sinang Bulawan dan Ibu tercinta sewaktu Ulang Tahunnya ke 86

Masih ku ingat
Tanggal 15 Desember 2012 yang lalu
Kita merayakan Ulang Tahun bersama
Disaat Ulang Tahun mu yang ke 86

Kami, anak-anak dan cucu-cucu, serta cicit-cicit mu bergembira
Kita nyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun"
Engkau tiup lilin-lilin kecil dengan beberapa kali tiupan nafas mu
Engkau potong kue dengan sisa-sisa kekuatan tenaga mu
Engkau suapkan potongan kue ke mulut anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicit dengan tangan gemetar mu
Umak, Kebahagian itu milik kita semua
Terlihat senyum itu di wajah dalam foto mu

Sinang Bulawan dengan Ibunda tercinta sewaktu Beliau sakit


Ternyata itu adalah hari ulang tahun mu yang terakhir
Tidak menyangka kalau kemudian Engkau sakit dan akhirnya pergi
Pergi untuk tidak kembali

Kami semua anak-anak mu
Kami dan segenap cucu-cucu mu
Kami seluruh keluarga dan cicit-cicit mu
Mengikhlaskan kepergian mu

Selamat jalan Umak, Nyai, dan Buyut
Semoga Engkau tenang dan bahagia disana


Hotel Hyundai

Oleh: Sinang Bulawan


.
Sinang Bulawan: Take the privelege as a special guest

Open any window of  Hotel Hyundai (Gyeongju) and a thousand years of history will be there before your eyes.
Hotel Hyundai, elegant, beautiful like a soaring crane's wings is the epitome of a top-class hotel culture with the exquisite combination of Shilla's rich cultural heritage and modern facilities.
Hotel Hyundai which has both resort and convention facilities is perfect for anyone who is on business trip or who wishes to experience the rich historical heritage of Gyeongju.



Reservations & Inquiries:
Gyeongju: +82-(0)54-748-2233
Seoul     : +82-(0)2-3669-4100-6
Busan    :  +82-(0)51-667-0090-1
Ulsan     :  +82-(0)52-234-1265
Daegu    :  +82-(0)53-425-6902




Rabu, 22 Januari 2014

Sejarah Pembangunan Jembatan Ampera

Oleh: Sinang Bulawan



Sinang Bulawan dan Keluarga sewaktu liburan di Jembatan Ampera



Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat


Lirik dan Lagu Dirut

Oleh: Sinang Bulawan



Sinang Bulawan dan Isteri sewaktu pulang kampung ke Lahat


DIRUT

Dirut dirut dirut jangan nanges, Bapang ka bejalan

Bejalan dek ke lame, Dirut tinggalah kudai

Dirut jangan nanges, Dirut jangan nanges

Dirut dirut dirut jangan nanges, Bapang ka bejalan

Cakag endung mude, Dirut jangan nanges

Dirut jangan nanges, Pejamkanlah mate

Oi laila lailah tuape di tebing, Siamang buket

Ndon ayon midang malam, Antan lah delapan

Ndon ayon nuju gale

Dirut dirut dirut jangan nanges, Bapang kaba lah balek

Mbatak endung tue, Endung kaba sebitu

Dirut jangan nanges, Pejamkanlah mate




A Board De L'Onyx

Oleh: Sinang Bulawan





Sinang Bulawan dan isteri di Menara Effiel 2004



"Bateaux Parisien", tulisan tersebut terpampang di kaca depan kapal Onyx, yang kami naiki. Ada beberapa kapal lagi di depan seperti Saphir dan Maxim. Tetapi rupanya kami dipersilahkan menaiki kapal Onyx ini karena yang lain sudah penuh.

 
Malam ini mulai jam setengah sembilan sampai jam sebelas kami akan menikmati makan sambil menyaksikan pemandangan kota Paris dengan kapal di sepanjang sungai Seine.

 
Suatu kesempatan yang langka. Memang, karena jumlah penumpang sangat dibatasi, pemesanan tempat juga harus dilakukan jauh hari, tidak bisa dilakukan pembayaran di tempat. Dan, biayanya cukup mahal. Ini sangat beda dengan perjalanan di sungai Seine untuk turis yang umum. Mereka kapan saja bisa naik kapal tour dengan atap terbuka, dan dengan jumlah penumpang yang tidak dibatasi. Atau, bisa saja menikmati makan malam di atas kapal di pinggir sungai Seine. Namun kapalnya tidak bergerak sama sekali. Kapal statis, atau hanya restoran di kapal.

 
Saya mengambil posisi duduk di kursi dekat gang. Satu meja disiapkan untuk sepuluh orang saling berhadapan. Saya coba menghitung, ada sekitar 15 meja berjejer rapi, di kiri dan kanan sisi kapal. Di depan ada enam meja bulat masing-masing untuk enam orang. Jadi perkiraan saya dalam satu perjalanan kapal bisa menampung tiga ratusan orang. Cukup banyak juga. Sebagian besar kelihatan mereka turis. Di sebelah depan meja kami, ada tiga meja diisi rombongan dari China. Di belakang, rombongan dari Inggris, kemudian separuh barisan di depan kelihatan dari China lagi. Di sisi barisan seberang, sebagian besar dari Jepang. Di belakang, penuh dengan turis bule, entah dari negara mana lagi.

 
Mesin kapal sudah mulai dihidupkan, saya lihat jam menunjukkan angka setengah sembilan. Sebentar lagi kapal akan meninggalkan Port de la Bourdonnais, pelabuhan khusus dekat berdirinya menara Eiffel. Walau pun sedikit ditutupi rimbunan pohon, sebagian menara itu masih kelihatan jelas dari bagian dalam kapal. Apalagi dinding dan atap kapal dibuat dari fiberglass yang tembus pandang. Sekilas, Menara Eiffel terlihat kuning keemasan, karena pengaruh cahaya kuning lampu-lampu yang menyala di sepanjang rangka-rangka bajanya. Sungguh sangat fantastik.

 
Iringan biola yang dimainkan musisi wanita di atas panggung di depan terdengar lirih. Kalau tidah salah ia memainkan lagu "Wellcome to Paris". Potongan-potongan syair yang hidup, mengantar kapal yang mulai perlahan bergerak maju. Penumpang mulai bersorak dan bertepuk tangan.

 
Pelayan sudah mulai menyajikan makan pembuka, biola di depan memainkan lagu klasik ciptaan Chopin. Merdu sekali, dan alangkah mahirnya dia meminkan liukan-liukan syair tersebut. Membawa pikiran jauh ke masa silam. Pas sekali perpaduan musik dan pemandangan yang ada. Muncul di depan gedung tua Les Invades. Rumah sakit militer yang dibangun tahun 1671 di bawah kekuasaan Louis XIV, di mana di bagian lantai di tengah-tengahnya kubah, dikubur jasad Napoleon Bonaparte. Berikutnya terlihat gedung L'Assemble Nationale, atau gedung DPRnya Negara Perancis.

 
Roti kecil-kecil menu pembuka sudah habis, minuman ringan kemudian dituang pelayan ke gelas. Menyusul satu mangkuk sup labu pun tuntas ditelan tanpa terasa. Mengapa tidak, karena musik di depan mengalunkan lagu ciptaan Mozart. Wow, cantiknya si pemain biola sama cantik dengan suara gesekan biolanya. Siapa yang tidak kenal dengan Mozart. Musisi jenius yang sudah mulai main biola di umur empat tahun, dan yang sangat menggegerkan dunia. Ia sudah mulai ikut konser di umur enam tahun. Sesuatu yang luar biasa. Tapi sayang ia meninggal selagi masih muda, 36 tahun.

 
Le musee d'Orsay, gedung museum tua muncul di hadapan kami. Dulunya merupakan stasiun kereta api kuno, tahun 1986 diubah jadi museum. Berikutnya, L'institut de France, dibangun oleh Le Vau tahun 1805 sebagai akademi tua sejak kekuasaan Napoleon I. Dan selanjutnya ini dia, muncul La Cathedrale Notre-Dame. Semua orang akan kenal bangunan ini, di buat tahun 1160-1330. Inilah sebenar-benarnya pusat kota Paris. Titik nol kota Paris. Kalau di Jakarta sama seperti Monas.

 
Pelayan sudah menghidangkan makanan utama di meja kami. Saya pesan "chicken and mushroom supreme, truffle-scented potato puree'. Daging ayam empuk sekali diisi dengan jamur kuping, dimakan bersama semangkuk kentang giling. Oi mak enaknya. Lebih enak lagi kalau dikasih sambal. Sayang di sayang, orang Perancis tidak mengenal sambal. Saya pesan sambal, eh dikasih malah bubuk merica.

 
Tapi tidak apa-apa, suara biduanita Perancis di depan panggung membuat suasana beda. Ia sementara menggantikan pemain biola yang istirahat minum. Lagu Billy Jean, Michel Jackson dinyanyikannya mulus. Bersambung dengan unjuk kebolehan si pemain biola yang muncul kembali dan berjalan ke meja-meja pengunjung. Gesekan lagu Wo Aini di depan meja orang-orang China, memberikan respon gemuruh. Lagu Sukiyaki, di depan meja turis dari Jepang. Beberapa wanita Jepang ikut berdiri dan bernyanyi. Tidak ketinggalan, oalaa mak, dia mainkan juga lagu daerah kita, di depan meja kami. Lagu "Sirih Kuning". Fasih sekali. Hebat, benar-benar hebat.

 
Sambil makan, pengeras suara mengingatkan pengunjung, di sebelah kanan kapal ada bangunan L'Hotel de Ville yang dibangun oleh sang empunya Francis I tahun 1533, sempat habis terbakar tahun 1871, namun dibangun kembali tahun 1874. Berikutnya terlihat gedung La Concierge yang dibangun tahun 1310 oleh Philippe IV the Fair. Gedung ini dijadikan penjara yang mengerikan semasa Revolusi Perancis.

 
Kembali lagu klasik dimainkan, suara jeritan biola mengingatkan masa lampau sewaktu Leonardo da Vinci melukis Monalisa dalam sinar temaram lampu minyak. Lukisan yang sampai saat ini masih misterius, mempertanyakan arti senyuman Monalisa yang sekarang terpajang di ujung musium Le Lourve. Musium terbesar dan terlengkap di dunia. Awalnya musium ini merupakan Istana dengan panjang keseluruhan 700 meter, terbentang dari Rue de Rivoli di satu sisi, sampai ujungnya di sisi sungai Seine ini. Di depan kami sekarang.

 
Makan penutup pesanan saya datang. Soft almod biscuit with violet cream and apricots. Manis sedikit asam, tapi enak. Di depan muncul kembali si penyanyi wanita mendendangkan lagu Frank Sinatra "New York, New York", karena bertepatan kapal sudah di sisi patung Liberty kecil di sungai Seine. Patung persembahan warga Amerika yang tinggal di Perancis sebagai ganti ucapan terima kasih mereka terhadap negara Perancis yang sudah membuatkan Patung Liberty di Amerika yang didirikan di pulau kecil dekat New York.

 
Sekarang kelihatan lagi, mula-mula pucuknya, kemudian badannya, dan akhirnya kakinya. Ya, menara Eiffel muncul kembali. Dalam bentuk yang sempurna. Kuning keemasan. Megah. Sangat megah. Semua orang berteriak kegirangan. Sangat anggun sekali. Menara dengan tubuh seluruhnya terbuat dari rangka baja. Pada awalnya dibuat hanya untuk sementara dalam World Fair tahun 1889. Tetapi jadi keterusan untuk dipertahankan. Dengan tinggi 320 meter. Dirancang oleh teknisi Gustave Eiffel. Menara tertinggi saat itu. Sangat tinggi sekali terlihat dari sungai Seine. Pemandangan yang tidak akan terlupakan. Apalagi saat penampakannya diiringi lagu "Sous les ponts de Paris" yang dinyanyikan di panggung. Lagu dengan arti "Di bawah jembatan Paris", yang bernada syahdu membuat semua tepukan menjadi semakin ramai.

 
Malam semakin larut, jarum jam sudah menunjukkan arah ke angka sebelas. Kapal L'Onyx kembali merapat di pelabuhan. Sajian malam telah selesai, semua bersiap turun. Namun, di panggung irama semakin panas, lagu "Saturday Night Fever" John Travolta muncul. Wow, ya benar saat ini Sabtu Malam. Tepat sekali. Bersamaan dengan semua penumpang turun, menara Eiffel menyala terang benderang. Lampu-lampu kilat kecil-kecil di seluruh rangkaian baja bergantian memancarkan cahaya yang menyilaukan. Oh no, seperti kembang api. Tepat jam sebelas. Tidak lama. Hanya lima menit. Sangat memukau. Indah sekali. Menutup semua perjalanan tadi dengan sangat klimaks. Luar biasa.

 
Paris, Sabtu 10 April 2004.